Minggu, 15 November 2015

Pinjam Meminjam (ariyah)




BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari setiap individu manusia tidak terlepas dari yang namanya pinjam-meminjam (ariyah). Hal ini membuktikan bahwa setiap manusia tidak bisa hidup dengan sendiri, tetapi ia makhluk individu yang membutuhkan orang lain dalam menjalankan aktivitas kehidupannya sehari-hari. Setiap individu atau kelompok akan membutuhkan individu atau kelompok lain, ini dikarenakan masih banyak sekali kekurangan-kekurangan yang terdapat pada masing-masing orang, sehingga dengan adanya aktivitas pinjam-meminjam akan saling melengkapi dari satu hal terhadap hal yang lainnya.
Di dalam islam seluruh aspek kehidupan sudah diatur secara rinci dan jelas, dari mulai hal yang sederhana atau kecil hingga ke suatu hal yang besar atau umum. Misalnya dari mulai tatacara masuk kamar mandi hingga kepada hal yang besar yaitu ketatanegaraan. Semua itu sebenarnya sudah ada dan di atur di dalam islam, tetapi sekarang ini syariat islam tidak diterapkann secara menyeluruh. Sehingga banyak sekali kemudaratan-kemudaratan yang terjadi di kalangan masyarakat.
Pembahasan pada makalah ini merupakan bagian dari syariat islam yaitu Pinjam-meminjam (ariyah). Pinjam meminjam di dalam islam sangat diperhatikan, dari mulai meminjam barang yang kecil/sedikit sampai meminjam barang yang besar/banyak. Dalam Al-Qur’an dan Hadis banyak dijelaskan mengenai hal ini, sebab pinjam-meminjam ini merupakan sebuah kebutuhan baik bagi setiap individu maupun kelomopok.
Kita tidak pernah bisa lari dari hal ini, karena seperti yang sudah kami sebutkan diatas bahwa kita merupakan makhluk yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain, maka dari itu salah satu solusi untuk mengatasi sebuah kesulitan adalah dengan cara meminjam sesuatu terhadap orang lain sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
Dalam makalah ini kami sedikit menguraikan permasalahan yang berkenaan dengan pinjam meminjam. Kami juga mencantumkan mulai dari pengertian Ariyah, rukun dan syarat ariyah, hukum ariyah, serta pembagian-pembagiannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian ‘Ariyah (Pinjam Meminjam)
Secara etimologi, ‘ariyah adalah (العارية) yang berasal dari kata (عار) yang artinya datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘ariyah berasal dari kata (التعاور) yang sama artinya dengan (اوالتناوبالتناول) (saling menukar dengan mengganti), yaitu dalam konteks pinjam-meminjam. 
Sedangkan secara terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan, diantaranya:
a.       Menurut Syarkhasyi dan ulama Malikiyah:
تمليك المنفعةبغيرعوض
Artinya: “pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti.”
b.      Menuru ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah:

اباحةالنفعةبلاعوض
Artinya: “pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.”[1]

Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang lain. Sedangkan pengertian yang kedua memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjam terhadap orang lain.
Pinjam-meminjam ialah memperbolehkan kepada orang lain mengambil manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tidak rusak zatnya. Pinjam meminjam itu boleh, baik dengan secara mutlak maksudnya tidak dibatasi dengan waktu, atau dibatasi dengan waktu.
Barang pinjaman kalau hilang atau rusak, menjadi tanggungan orang yang meminjam dengan harga pada hari rusaknya.[2] Baik itu memperbaiki yang rusak maupun menggantikan barang secara utuh. 
                                                                                                                                                               Pendapat lain mengatakan bahwa ‘ariyah adalah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusak zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan.[3] Misalnya si A meminjam buku terhadap si B untuk membuat/menyusun makalah, setelah si B selesai meminjam lalu kemudian si B mengembalikan buku terhadap si A dengan tidak mengurangi zat atau bentuknya.

Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan mengenai pinjam-meminjam,
 Firman Allah SWT:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma’idah: 2)
Didalam hadis juga dijelaskan, Rasulullah SAW. bersabda yang artinya:
pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmizi yang dinilai Hasan)

B.     Rukun dan Syarat ‘Ariyah
1.    Rukun ‘Ariyah
          Ulama Hanafiyah sedikit berbeda dengan Syafi’yah dalam memberi pernyataan mengenai rukun ‘ariyah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ‘ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ‘ariyah. Sedangkan ulama Hanafi’yah, dalam ‘ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
          Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ‘aryah ada empat, yaitu:
1)      Mu’ir (peminjam)
2)      Musta’ir (yang meminjamkan)
3)      Mu’ar (barang yang dipinjam)
4)      Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.[4]
                 Setidaknya ada empat unsur dalam rukun ‘ariyah seperti yang sudah disebutkan diatas, jika ada salah satu bagian dari rukun yang belum terpenuhi maka rukun ‘ariah belum dikatakan sempurna dan juga belum bisa dikatakan pinjam-meminjam.
2.    Syarat ‘Ariyah
1.      Syarat orang yang meminjam dan yang meminjamkan ialah baligh, berakal dan melakukannya dengan kemauannya.
2.      Manfaat barang yang dipinjamkannya harus merupakan milik orang yang meminjamkan. Maka dari itu orang yang meminjam dari sesuatu barang tidak boleh meminjamkan barang itu kepada orang lain.
3.      Orang yang meminjam sesuatu barang, hanya dibolehkan mengambil manfaatnya menurut apa yang diijinkan oleh orang yang meminjamkan.
4.      Mengembalikan barang pinjaman, kalau dibutuhkan ongkos, maka ongkosnya atas tanggungan peminjam.
5.      Pinjaman yang dibatasi waktunya, setelah habis waktunya, peminjam wajib segera mengembalikannya. Pengambilan manfaat setelah lewat batas waktu yang telah ditentukan, adalah diluar ikatan pinjam meminjam.[5]
          Para  ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang, dan lain-lain.
C.    Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah
1.    Dasar Hukum Ariyah
          Menurut kebiasaan (urf), ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara majaz.
a.       Secara Hakikat
           Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semaksa dengan manfaat menurut kebiasaan.
           Al-Khurkhi, ulama Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
           Dari beberapa perbedaan pendapat diatas, dapat dipahami bahwa menurut pendapat pertama, barang yang dipinjam (musta’ar) boleh dipinjamkan kepada orang lain, bahkan menurut Imam Malik sekalipun tidak diizinkan oleh pemiliknya asalkan digunakan sesuai fungsinya. Akan tetapi, ulama Malikiyah melarang jika peminjam tidak mengizinkannya.
           Alasan ulama Hanafiyah antara lain bahwa yang memberi pinjaman (mu’tir) telah memberikan hak penguasaan barang kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang. Kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan. Dengan demikian, peminjam berkuasa penuh untuk mengambil manfaat barang tersebut, baik oleh dirinya maupun orang lain.
           Sedangkan menurut golongan kedua, pinjam-meminjam hanya sebatas pengambilan manfaat saja dan peminjam tidak boleh meminjamkannya terhadap orang lain. Golongan pertama dan kedua sepakat bahwa pinjaman tidak memiliki hak kepemilikan sebagaimana pada gadai barang.
           Menurut golongan pertama, gadai adalah akad yang lazim (resmi), sedangkan ariyah adalah akad tabarru’ (derma) yang dibolehkan, tetapi tidak lazim.[6] Maksudnya adalah peminjam tidak memiliki hak kepemilikan, dan peminjam juga tidak boleh menyewakannya.
           Menurut golongan kedua, peminjam hanya berhak memanfaatkannya saja dan ia tidak memiliki bendanya.[7]

b.      Secara majazi
          Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.[8]

2.      Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta’ar)
Jumhur ulama selain Hanafiah berpendapat bahwa musta’ar dapat mengambil manfaat barang sesui dengan izin mu’ir (orang yang member pinjaman). Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara terikat atau mutlak.
a.       Ariyah Mutlak
Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, sperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. Contoh, seorang peminjam binatang, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan binatang tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Jadi, hukumnya sebagaimana pemilik hewan-hewan, yaitu dapat mengambil. Namun demikian, harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Tidak dibolehkan menggunakan binatang tersebut pada siang malam tanpa henti. Sebaliknya, jika pengguinaannya tidak sesuai kebiasaan dan barang pinjaman rusak, maka peminjam harus bertanggung-jawab.

b.      Ariyah Muqayyad
Adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatnnya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan trsebut. Hal ini karena asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian, dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.
1)      Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam
Jika mu’ir membatasi hak pengguna manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunaan dalam hal lainnya, seperti mengendarai binatang atau memakai pakaian. Dengan demikian, peminjam tidak boleh mengendarai binatang atau memakai pakaian yang ada.
2)      Pembatasan waktu atau tempat
Jika ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau menambah waktunya, ia bertanggung jawab atas penambahan tersebut.
3)      Pembatasan ukuran berat dan jenis
Jika yang disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus menanggung sesuai dengan kelebihannya.
Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir (orang yang meminjamkan barang) dengan musta’ir (peminjam) tentang lamanya waktu meminjam, berat barang yang dibawa barang pinjaman, atau tempat meminjam, pendapat yang harus dimenangkan atau diterima adalah pendapat mu’ir (yang meminjamkan barang). Karena dialah yang member izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.

3.      Sifat Ariyah
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjam atas barang adalah hak tidak izin, sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada hibah, misalnya bisa saja mu’ir (orang yang meminjamkan) mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, baik pinjam-meminjam bersifat mutlak atau dibatasi waktu, kecuali ada sebab-sebab tertentu yang akan menimbulkan kemudaratan saat pengambilan barang tersebut, seperti jikalau dikembalikan barang tersebut tepat pada waktunya namun barang itu rusak atau meminjam tanah untuk menguburkan mayat yang dihormati, maka mu’ir  tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan si peminjam pun tidak boleh mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi tanah.
Nabi Saw. Bersabda:
Artinya:
“Pemberian itu ditolak sedang pinjam-peminjam adalah (suatu akad) yang dikembalikan.” (HR. Ibnu ‘Addy)
Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama Malikiyah, mu’ir tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya. Jika ariyah ditempokan pada suatu waktu, mu’ir tidak boleh memintannya sebelum habis waktunya. Akan tetapi pendapat yang paling unggul menurut Ad-Dardir, dalam kitab Syarah Al-Kabir, adalagh muir dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara mutlak kapanpun ia menghendakinya.[9]

 
  

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ariyah merupakan sebuah aktivitas yang membolehkan kepada orang lain untuk mengambil manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak merusak zat dari barang yang dipinjam jika itu berupa barang dan tidak mengurangi atau menambah nilai jika misalnya berupa uang atau yang lainnya, lalu mengembalikannya setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tidak rusak zatnya.
Pinjam-meminjam tidak bisa terlepas dari hukum islam yang sudah mengaturnya sejak kedatangan islam di Bumi ini melalui risalah Nabi Saw. Dalam pinjam-meminjam yang sangat penting untuk diperhatikan diantaranya adalah Rukun dan Syarat, karena di dalamnya memuat boleh atau tidaknya ‘Ariyah  dilakukan. Dari pembahasan yang sudah kami uraikan diatas dapat dipahami bahwa yang namanya ariyah bisa terjadi setidaknya ada dua orang yang saling menyetujui atau sama-sama mau dan tidak membertkan, serta dalam pinjam meminjam juga bisa wajib hukumnya, dan juga sebaliknya bisa haram. Hal ini tergantung kepada situasi dan kondisi yang terjadi. Untuk yang terakhir perlu kami tegaskan kembali bahwa wajib hukumnya mengganti barang yang kita pinjam jika barang itu rusak dan tidak bisa diperbaiki.
 

DAFTAR PUSTAKA

Rahmat Syafe’i, Fikih Muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2001.
Moh. Rifa’i, Fiqih Islam, Semarang, Karya Toha Putra, 1978.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2012.



[1] Rahmat Syafe’i, Fikih Muamalah, (Bandung, Pustaka Setia, 2001), hlm. 139-140
[2] Moh. Rifa’i, Fiqih Islam, (Semarang, Karya Toha Putra, 1978), hlm. 426
[3] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2012), cet. ke-58. Hlm. 322
[4] Rachmat, Op. Cit., hlm. 141
[5] Moh. Rifa’i, Op. Cit., hlm. 427
[6] Rahmat Syafe’I, Op. Cit., hlm. 142-143
[7] Ibid., hlm. 143
[8] Ibid., hlm. 143
[9] Ibid., hlm. 145-146.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar