BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari setiap individu manusia tidak terlepas
dari yang namanya pinjam-meminjam (ariyah). Hal ini membuktikan bahwa
setiap manusia tidak bisa hidup dengan sendiri, tetapi ia makhluk individu yang
membutuhkan orang lain dalam menjalankan aktivitas kehidupannya sehari-hari.
Setiap individu atau kelompok akan membutuhkan individu atau kelompok lain, ini
dikarenakan masih banyak sekali kekurangan-kekurangan yang terdapat pada
masing-masing orang, sehingga dengan adanya aktivitas pinjam-meminjam akan
saling melengkapi dari satu hal terhadap hal yang lainnya.
Di dalam islam seluruh aspek kehidupan sudah diatur secara rinci
dan jelas, dari mulai hal yang sederhana atau kecil hingga ke suatu hal yang
besar atau umum. Misalnya dari mulai tatacara masuk kamar mandi hingga kepada
hal yang besar yaitu ketatanegaraan. Semua itu sebenarnya sudah ada dan di atur
di dalam islam, tetapi sekarang ini syariat islam tidak diterapkann secara
menyeluruh. Sehingga banyak sekali kemudaratan-kemudaratan yang terjadi di
kalangan masyarakat.
Pembahasan pada makalah ini merupakan bagian dari syariat islam
yaitu Pinjam-meminjam (ariyah). Pinjam meminjam di dalam islam sangat
diperhatikan, dari mulai meminjam barang yang kecil/sedikit sampai meminjam
barang yang besar/banyak. Dalam Al-Qur’an dan Hadis banyak dijelaskan mengenai
hal ini, sebab pinjam-meminjam ini merupakan sebuah kebutuhan baik bagi setiap
individu maupun kelomopok.
Kita tidak pernah bisa lari dari hal ini, karena seperti yang sudah
kami sebutkan diatas bahwa kita merupakan makhluk yang tidak bisa hidup sendiri
tanpa orang lain, maka dari itu salah satu solusi untuk mengatasi sebuah
kesulitan adalah dengan cara meminjam sesuatu terhadap orang lain sesuai dengan
apa yang dibutuhkan.
Dalam makalah ini kami sedikit menguraikan permasalahan yang
berkenaan dengan pinjam meminjam. Kami juga mencantumkan mulai dari pengertian Ariyah,
rukun dan syarat ariyah, hukum ariyah, serta
pembagian-pembagiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Ariyah (Pinjam Meminjam)
Secara etimologi, ‘ariyah adalah (العارية) yang berasal dari kata (عار) yang artinya datang
dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘ariyah berasal dari
kata (التعاور) yang sama artinya dengan (اوالتناوبالتناول) (saling menukar dengan mengganti),
yaitu dalam konteks pinjam-meminjam.
Sedangkan secara terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan,
diantaranya:
a.
Menurut
Syarkhasyi dan ulama Malikiyah:
تمليك المنفعةبغيرعوض
Artinya: “pemilikan
atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti.”
b.
Menuru
ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah:
اباحةالنفعةبلاعوض
Artinya:
“pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.”[1]
Dari
beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa pengertian pertama memberikan
makna kepemilikan sehingga peminjam dibolehkan untuk meminjamkan kepada orang
lain. Sedangkan pengertian yang kedua memberikan makna kebolehan, sehingga
peminjam tidak boleh meminjamkan barang yang dipinjam terhadap orang lain.
Pinjam-meminjam ialah memperbolehkan kepada orang lain mengambil
manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil manfaatnya dengan tidak merusak
zatnya, dan dikembalikan setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tidak rusak
zatnya. Pinjam meminjam itu boleh, baik dengan secara mutlak maksudnya tidak
dibatasi dengan waktu, atau dibatasi dengan waktu.
Barang pinjaman kalau hilang atau rusak, menjadi tanggungan orang
yang meminjam dengan harga pada hari rusaknya.[2] Baik
itu memperbaiki yang rusak maupun menggantikan barang secara utuh.
Pendapat lain mengatakan bahwa ‘ariyah adalah
memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya
dengan tidak merusak zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan.[3]
Misalnya si A meminjam buku terhadap si B untuk membuat/menyusun makalah,
setelah si B selesai meminjam lalu kemudian si B mengembalikan buku terhadap si
A dengan tidak mengurangi zat atau bentuknya.
Dalam Al-Qur’an juga dijelaskan mengenai pinjam-meminjam,
Firman Allah SWT:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.” (Al-Ma’idah: 2)
Didalam hadis juga dijelaskan, Rasulullah SAW. bersabda yang
artinya:
“pinjaman wajib dikembalikan, dan orang
yang menjamin sesuatu harus membayar.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmizi yang
dinilai Hasan)
B.
Rukun dan Syarat ‘Ariyah
1.
Rukun
‘Ariyah
Ulama Hanafiyah
sedikit berbeda dengan Syafi’yah dalam memberi pernyataan mengenai rukun
‘ariyah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ‘ariyah hanyalah ijab dari
yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ‘ariyah.
Sedangkan ulama Hanafi’yah, dalam ‘ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat
akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang
pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya
izin.
Secara umum, jumhur
ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ‘aryah ada empat, yaitu:
1)
Mu’ir
(peminjam)
2)
Musta’ir
(yang meminjamkan)
3)
Mu’ar
(barang yang dipinjam)
4)
Shighat,
yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat,
baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan.[4]
Setidaknya
ada empat unsur dalam rukun ‘ariyah seperti yang sudah disebutkan diatas, jika
ada salah satu bagian dari rukun yang belum terpenuhi maka rukun ‘ariah belum
dikatakan sempurna dan juga belum bisa dikatakan pinjam-meminjam.
2.
Syarat ‘Ariyah
1. Syarat orang yang meminjam dan yang meminjamkan ialah baligh,
berakal dan melakukannya dengan kemauannya.
2. Manfaat barang yang dipinjamkannya harus merupakan milik orang yang
meminjamkan. Maka dari itu orang yang meminjam dari sesuatu barang tidak boleh
meminjamkan barang itu kepada orang lain.
3. Orang yang meminjam sesuatu barang, hanya dibolehkan mengambil
manfaatnya menurut apa yang diijinkan oleh orang yang meminjamkan.
4. Mengembalikan barang pinjaman, kalau dibutuhkan ongkos, maka
ongkosnya atas tanggungan peminjam.
5. Pinjaman yang dibatasi waktunya, setelah habis waktunya, peminjam
wajib segera mengembalikannya. Pengambilan manfaat setelah lewat batas waktu
yang telah ditentukan, adalah diluar ikatan pinjam meminjam.[5]
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah
dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa
merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang, dan lain-lain.
C.
Hukum
(Ketetapan) Akad Ariyah
1.
Dasar Hukum Ariyah
Menurut kebiasaan (urf), ariyah dapat
diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat
dan secara majaz.
a. Secara Hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat
diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah,
hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam
memiliki sesuatu yang semaksa dengan manfaat menurut kebiasaan.
Al-Khurkhi, ulama
Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat
dari suatu benda.
Dari beberapa
perbedaan pendapat diatas, dapat dipahami bahwa menurut pendapat pertama,
barang yang dipinjam (musta’ar) boleh
dipinjamkan kepada orang lain, bahkan menurut Imam Malik sekalipun tidak
diizinkan oleh pemiliknya asalkan digunakan sesuai fungsinya. Akan tetapi,
ulama Malikiyah melarang jika peminjam tidak mengizinkannya.
Alasan ulama
Hanafiyah antara lain bahwa yang memberi pinjaman (mu’tir) telah memberikan hak penguasaan barang kepada peminjam
untuk mengambil manfaat barang. Kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan. Dengan
demikian, peminjam berkuasa penuh untuk mengambil manfaat barang tersebut, baik
oleh dirinya maupun orang lain.
Sedangkan menurut golongan kedua,
pinjam-meminjam hanya sebatas pengambilan manfaat saja dan peminjam tidak boleh
meminjamkannya terhadap orang lain. Golongan pertama dan kedua sepakat bahwa
pinjaman tidak memiliki hak kepemilikan sebagaimana pada gadai barang.
Menurut golongan
pertama, gadai adalah akad yang lazim (resmi), sedangkan ariyah adalah akad tabarru’ (derma) yang dibolehkan, tetapi
tidak lazim.[6] Maksudnya adalah peminjam tidak memiliki hak kepemilikan, dan
peminjam juga tidak boleh menyewakannya.
Menurut golongan kedua, peminjam hanya
berhak memanfaatkannya saja dan ia tidak memiliki bendanya.[7]
b. Secara
majazi
Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam
benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, dan lain-lain, seperti
telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak
zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa
atau senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan
ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya.
Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk
memanfaatkannya.[8]
2. Hak Memanfaatkan
Barang Pinjaman (Musta’ar)
Jumhur ulama
selain Hanafiah berpendapat bahwa musta’ar
dapat mengambil manfaat barang sesui dengan izin mu’ir (orang yang member pinjaman). Adapun ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara terikat atau
mutlak.
a. Ariyah Mutlak
Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak
dijelaskan persyaratan apapun, sperti apakah pemanfaatannya hanya untuk
peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara
penggunaannya. Contoh, seorang peminjam binatang, namun dalam akad tidak
disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan binatang tersebut, misalnya
waktu dan tempat mengendarainya. Jadi, hukumnya sebagaimana pemilik
hewan-hewan, yaitu dapat mengambil. Namun demikian, harus sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Tidak dibolehkan menggunakan binatang
tersebut pada siang malam tanpa henti. Sebaliknya, jika pengguinaannya tidak
sesuai kebiasaan dan barang pinjaman rusak, maka peminjam harus
bertanggung-jawab.
b. Ariyah Muqayyad
Adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan
kemanfaatnnya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya,
peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan trsebut. Hal ini karena
asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan
peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian, dibolehkan
untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.
1) Batasan penggunaan ariyah oleh diri
peminjam
Jika mu’ir
membatasi hak pengguna manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat
memandang adanya perbedaan tentang penggunaan dalam hal lainnya, seperti
mengendarai binatang atau memakai pakaian. Dengan demikian, peminjam tidak
boleh mengendarai binatang atau memakai pakaian yang ada.
2) Pembatasan waktu atau tempat
Jika ariyah
dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau menambah
waktunya, ia bertanggung jawab atas penambahan tersebut.
3) Pembatasan ukuran berat dan jenis
Jika yang disyaratkan adalah berat barang
atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus menanggung
sesuai dengan kelebihannya.
Jika ada
perbedaan pendapat antara mu’ir (orang
yang meminjamkan barang) dengan musta’ir (peminjam)
tentang lamanya waktu meminjam, berat barang yang dibawa barang pinjaman, atau
tempat meminjam, pendapat yang harus dimenangkan atau diterima adalah pendapat mu’ir (yang meminjamkan barang). Karena
dialah yang member izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai
dengan keinginannya.
3. Sifat Ariyah
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa hak
kepemilikan peminjam atas barang adalah hak tidak izin, sebab merupakan
kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada hibah, misalnya bisa saja mu’ir
(orang yang meminjamkan) mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja,
baik pinjam-meminjam bersifat mutlak atau dibatasi waktu, kecuali ada
sebab-sebab tertentu yang akan menimbulkan kemudaratan saat pengambilan barang
tersebut, seperti jikalau dikembalikan barang tersebut tepat pada waktunya
namun barang itu rusak atau meminjam tanah untuk menguburkan mayat yang
dihormati, maka mu’ir tidak boleh
meminta kembali tanah tersebut dan si peminjam pun tidak boleh mengembalikannya
sebelum jenazah berubah menjadi tanah.
Nabi Saw. Bersabda:
Artinya:
“Pemberian itu ditolak sedang pinjam-peminjam adalah (suatu akad)
yang dikembalikan.” (HR. Ibnu
‘Addy)
Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama Malikiyah, mu’ir
tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat
mengambil manfaatnya. Jika ariyah ditempokan pada suatu waktu, mu’ir tidak
boleh memintannya sebelum habis waktunya. Akan tetapi pendapat yang paling
unggul menurut Ad-Dardir, dalam kitab Syarah Al-Kabir, adalagh muir
dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara mutlak kapanpun ia
menghendakinya.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
‘Ariyah merupakan sebuah aktivitas yang membolehkan kepada
orang lain untuk mengambil manfaat sesuatu yang halal untuk mengambil
manfaatnya dengan tidak merusak zat dari barang yang dipinjam jika itu berupa
barang dan tidak mengurangi atau menambah nilai jika misalnya berupa uang atau
yang lainnya, lalu mengembalikannya setelah diambil manfaatnya dalam keadaan
tidak rusak zatnya.
Pinjam-meminjam tidak bisa terlepas dari hukum islam yang sudah
mengaturnya sejak kedatangan islam di Bumi ini melalui risalah Nabi Saw. Dalam
pinjam-meminjam yang sangat penting untuk diperhatikan diantaranya adalah Rukun
dan Syarat, karena di dalamnya memuat boleh atau tidaknya ‘Ariyah dilakukan. Dari pembahasan yang sudah kami
uraikan diatas dapat dipahami bahwa yang namanya ariyah bisa terjadi setidaknya
ada dua orang yang saling menyetujui atau sama-sama mau dan tidak membertkan,
serta dalam pinjam meminjam juga bisa wajib hukumnya, dan juga sebaliknya bisa
haram. Hal ini tergantung kepada situasi dan kondisi yang terjadi. Untuk yang
terakhir perlu kami tegaskan kembali bahwa wajib hukumnya mengganti barang yang
kita pinjam jika barang itu rusak dan tidak bisa diperbaiki.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmat
Syafe’i, Fikih Muamalah, Bandung, Pustaka Setia, 2001.
Moh.
Rifa’i, Fiqih Islam, Semarang, Karya Toha Putra, 1978.
Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2012.
[1] Rahmat
Syafe’i, Fikih Muamalah, (Bandung, Pustaka Setia, 2001), hlm. 139-140
[2] Moh.
Rifa’i, Fiqih Islam, (Semarang, Karya Toha Putra, 1978), hlm. 426
[3] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung, Sinar Baru Algensindo, 2012), cet. ke-58.
Hlm. 322
[4] Rachmat,
Op. Cit., hlm. 141
[5] Moh.
Rifa’i, Op. Cit., hlm. 427
[6] Rahmat Syafe’I, Op. Cit., hlm. 142-143
[9] Ibid.,
hlm. 145-146.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar