Senin, 16 November 2015

Thaharah

THAHARAH

A.     Pengertian Thaharah
Thaharah secara etimologi artinya “bersih”. Sedangkan menurut syara’ berarti bersih dari hadast dan najis.[1] Thaharah itu terdiri atas dua macam: Pertama, thaharah hakiki (al-haqiqah), yaitu bersuci menggunakan air, dan yang kedua thaharah hukumiyyah, yaitu-misalnya-bersuci dengan debu dalam praktik tayamum.[2] Bersuci dari hadast hanya di bagian badan saja. Hadast ada dua macam, yaitu : hadast besar dan hadast kecil. Untuk menghilangkan hadast besar yaitu dengan mandi atau dengan tayamum bila tidak ditemukan air. Dan untuk menghilangkan hadast kecil yaitu dengan wudhu atau tayamum.
            Bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat. Cara menghilangkannya harus dicuci dengan air yang suci dan mensucikan.[3] Sehingga ketika beribadah tidak hanya kesucian saja yang di dapat, akan tetapi kenyamanan dan ketenangan juga akan di dapat, sehingga ketika beribadah pun akan menjadi lebih khusyuk.
            Thaharah merupakan masalah yang paling penting dalam agama dan merupakan pangkal pokok dari ibadah yang menjadi penonggak manusia dalam menghubungkan diri dengan Allah Swt.
Sholat tidak sah jika tidak dengan thaharah, seperti yang disampaikan Nabi Saw dalam sabdanya:
“Allah tidak menerima sholat yang tidak dengan bersuc.” (HR. Muslim)[4]
B.     Air
a.       Jenis-jenis Air
1)      Air Mutlak
Hukum air mutlak adalah thahur, yakni suci dan mensucikan. Ada beberapa macam air yang masuk ke dalam kategori air mutlak, yaitu sebagai berikut.
a)      Air hujan, air es, dan air embun.
Allah swt. berfirman,
Dia lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (QS. al-Anfal [25]: 48)
b)      Air Laut
Rasulullah Saw. bersabda:
“Air laut itu sucu dan mensucikan. Segala bangkai (air laut) itu halal.”
(HR. Abu Dawud)
c)      Air Zamzam
Ali r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah meminta sebuah timba yang dipenuhi air zamzam, kemudian beliau minum dari timba itu, lalu beliau berwudhu dari timba itu.
d)      Air yang berubah warna karena tidak bergerak, atau karena tempat penampungannya, atau karena bercampur dengan sesuatu yang sulit dipisahkan, seperti lumut dan dedaunan.

2)      Air Musta’mal
Adalah air yang jatuh dari anggota tubuh orang yang berwudhu atau mandi beasar. Hukum air musta;mal adalah thahur, suci dan mensucikan, seperti air mutlak.
Rubayyi’ binti Mu’awwidz meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. mengusap kepala beliau dengan air wudhu yang tersisa di tangan beliau. Dalam redaksi yang berbeda Abu Dawud meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. mengusap kepalanya dengan sisa air yang masih ada di tangan beliau.[5]

3)      Air yang Telah Bercampur dengan Sesuatu yang Suci
Sesuatu yang suci itu seperti sabun, minyak za’faran, tepung, dan hal-hal lain yang biasanya terpisah dari air. Air jenis ini hukumnya suci dan mensucikan, selama ia masih dianggap sebagai air mutlak. Maksudnya, air yang bercampur dengan benda-benda tersebut masih disebut sebagai air secara definitif. Namun jika identitas air tersebut berubah, tidak lagi dianggap sebagai air mutlak, maka ia hanya suci, namun tidak mensucikan.

4)      Air yang Terkena Najis
Air yang terkena najis terdiri atas dua macam: Pertama, najis tersebut mengubah rasa, warna, dan bau air. Dalam kondisi seperti ini, air tersebut tidak bisa digunakan. Pendapat yang disepakati oleh ulama ini disampaikan oleh Ibnu Mundzir dan Ibnu Mulqin.

b.      Sisa Air Minum di Tempat Minum
Ada banyak jenis sisa minuman, sebagai berikut:
1)      Sisa Air Minum Manusia
Status hukum sisa air minum manusia adalah suci, baik orang itu muslim, kafir, junub, maupun haid.
Maksud firman Allah Awt., ....Sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis...,” (QS. at-Taibah [9]: 28), adalah najis ma’nawiyah, yakni dari sisi akidah mereka batil dan ketidakpedulian mereka terhadap kotoran dan najis; bukan berarti badan mereka najis.
2)      Sisa Air Minum Binatang yang Boleh Dimakan
Status hukum sisa air minuman binatang yang boleh dimakan adalah suci. Hal itu karena ludah binatang tersebut muncul dari daging yang suci. Maka, ludahnya pun suci. Abu Bakar Ibnu al-Mundziri berkata, “para ulama sepakat sisa air minum binatang yang halal dagingnya boleh diminum dan bisa dijadikan air wudhu.”

3)      Sisa Minuman Bigal, Keledai, Binatang Buas, dan Burung.
Status hukum sisa air minum binatang-binatang tersebut adalah suci.
Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah ditanya, “Apakah kami bisa berwudhu dengan menggunakan air sisa air minuman keledai?”
Rasulullah menjawab,
“Ya, Begitu juga sisa air minum seluruh binatang buas.”
4)      Sisa Air Minum Kucing
Status hukum air minum kucing adalah suci.
Nabi Saw. bersabda:
“Kucing itu tidak najis, Ia termasuk binatang yang berkeliaran di antara kalian.”  (HR. Abu Dawud)
5)      Sisa Air Minum Anjing dan Babi
Status air minum sisa anjing dan babi adalah najis, dan ini harus dijauhkan.
Rasulullah saw. bersabda:
“Jika ada seekor anjing minum dari tempat (minum) salah seorang di antara kalian, maka hendaklah ia mencucinya sebanyak tujuh kali.” (HR. Bukhari)   
Kemudian faktor yang menyebabkan sisa air minum babi najis adalah karena babi termasuk binatang yang kotor dan haram dimakan.[6]

C.     NAJIS
Najis menurut bahasa artinya kotoran, sedangkan menurut syara’ berarti yang mencegah sahnya shalat, seperti air kencing dan sebagainya.[7] Seorang muslim harus berusaha menjauhkan diri darinya dan mencuci apa yang terkena olehnya.[8]
Allah swt. berfirman,
“...Sunggug, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS. al-Baqarah [2]: 222)
Rasulullah saw. bersabda,
“Kesucian adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim)
a.       Jenis-jenis Najis
1)      Bangkai
Bangkai adalah binatang yang mati tanpa disembelih. Tubuh binatang yang dipotong hidup-hidup termasuk dalam kategori bangkai juga.
Rasulullah saw. bersabda,
“Apa yang dipotong dari tubuh binatang yang masih hidup adalah bangkai.” (HR. Abu Dawud)

Ada penegcualian dari bangakai yang disebutkan diatas, yaitu sebagai berikut:
ü  Bangkai ikan dan belalang.Kedua bangkai itu suci.
Rasulullah saw.bersabda,
“Ada dua bangkai dan dua darah yang halal bagi kita; kedua bangkai itu adalah ikan dan belalang; sedang dua darah itu adalah hati dan jantung.” (HR. Ibnu Majah)
ü  Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti semut, dan tawon. Bangkai binatang-binatang ini suci. Jika ia jatuh pada makanan atau minuman, bangkai itu tidak membuatnya najis.
ü  Status hukum tulang, tanduk, kuku, kulit[9] bangkai binatang tersebut dan yang sejenisnya adalah suci.
Rasulullah saw. bersabda,
“(Bangkai) yang haram itu hanya jika dimakan.” (HR. Bukhari)
2)      Darah
Darah yang dimaksud adalah mencakup darah yang mengalir (mashfuh), seperti darah yang mengalir ketika binatang disembelih, dan darah haid. Namun begitu, hukum darah yang sedikit adalah di-ma’fu (tidak najis). Darah yang diharamkan adlah darah yang dialirkan (masfu).
Aisyah r.a. berkata, “Kami memakan daging, sedang darah mengmbang di atas kuali.”
Hasan berkata, “Kaum muslimin tetap melakukan shalat dalam kondisi luka darah.”
Riwayat yang mengatakan bahwa Umar r.a. melakukan shalat sedang lukanya terus mengucurkan darah adalah benar. Riwayat ini diriwayatkan oleh al-Hafizh di dalam al-fath.

3)      Daging Babi
Allah swt.berfirman,
“Katakanlah, tidak kudapati di dalam apa yang di wahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi; karena semua itu kotor...” (QS. al-An’am [6]: 145)

4)      Muntah, Kencing, dan Kotoran Manusia
Semua ulama sepakat bahwa hukum ketiga benda diatas adalah najis. Namun jika muntah itu hanya sedikit maka masih bisa di –ma’fu’. Ada juga kencing anak kecil yang diringankan hukumnya; untuk membersihkannya cukup dengan menyiram dengan air yang sedikit.

5)      Wadi
Wadi adalah cairan kental putih yang keluar setelah kencing. Menurut kesepakatan ulama, hukum cairan tersebut adalah najis.

6)      Mazi
Mazi adalah cairan putih yang keluar ketika seseorang sedang berfantasi tentang persetubuhan, atau ketika seseorang sedang melakukan hubungan intim pra-persetubuhan (mula’abah).  Menurut kesepakatan ulama bahwa mazi adalah najis.
7)      Mani
Sebagian ulama mengatakan bahwa mani adalah najis. Tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa mani adalah suci. Namun, kita dianjurkan untuk membasuh mani yang masih basah, atau membersihkan mani yang sufah kering.
Rasulullah saw. bersabda,
“Mani itu sama dengan ingus dan ludah. Kamu cukup membersihkannya dengan kain, atau dengan mengeriknya.” (HR. Daruquthni)
8)      Kencing dan Kotoran Binatang yang Tidak Halal Dimakan
Hukum kedua benda itu adalah najis. Hal itu berlandaska pada hadis Ibnu Mas’ud r.a. Ia menceritakan, “Suatu ketika Rasulullah saw. hendak membuang air besar. Beliau memintaku untk mencari tiga batu. Aku mendapatkan dua batu. Ketika aku mencari batu satu lagi, aku tidak mendapatkan batu itu. Aku pun mengambil kotoran yang sudah kering. Rasulullah mengambil batu itu dan membuang kotoran kering tersebut. Kata beliau, ‘Benda ini najis.’
9)      Al-Jallalah
Sudah ada larangan untuk menaiki, memakan daging, dan meminum susu al-jallalah. Ibnu Ma’ud r.a. berkata. “Rasulullah saw. mlarang untuk minum susu al-jallalah.” (HR. Abu Dawud)
10)  Khamar
Menurut sebagian besar ulama, khamar adalah najis.
Allah swt. berfirman,
“...Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan...” (QS. al-Ma’idah [5]: 90)
Namun menurut sebagian yang lain, khamar adalah suci. Menurut mereka, kenajisan yang disinggung oleh ayat di atas adalah najis maknawi. Apalagi, hal-hal yang disandingkan degannya bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai najis secara lahiriah. Allah swt. berfirman,
“... maka jauhilah (peneyembahan) berhala-berhala yang najis itu...”  (al-Hajj [22]: 30)
11)  Anjing
Setiap benda yang dijilat anjing maka harus dicuci sebanyak tujuh kali, dan yang salah satunya adalah dengan tanah.[10]


[1] Moh. Rifa’i, Fiqih Islam, (Semarang, PT. Karya Toha Putra, 1978), hlm. 46.
[2] Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 1, (Jakarta Timur, Tinta Abadi Gemilang, 2013), hlm. 15.
[3] Moh. Rifa’i, Op., Cit., hlm. 46.
[4] Ibid.,
[5] HR. Muslim
[6] Muhammad Sayyid Sabiq, Op., Cit., hlm. 15-24.
[7] Moh. Rifa’i, Op., Cit.,hlm.  47.
[8] Muhammad Sayyid Sabiq, Op., Cit., hlm. 24.
[9] Kulit bangkai menjadi suci bila telah disamak.
[10] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar