Perintah Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
A.
Hadist tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar
عن طارق بن شهاب وهذا حديث أبي بكر قال أول من بدأ
بالخطبة يوم العيد قبل الصلاة مروان فقام إليه رجل فقال الصلاة قبل الخطبة فقال قد
ترك ما هنا لك فقال أبو سعيد أما هذا فقد قضى ما عليه سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ،
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ .رواه مسلم
B.
Makna mufrodat
- رَأَى = Melihat
- فَلْيُغَيِّرْه = Merubahnya
- بِيَدِهِ = dengan
tangannya
- فَبِلِسَانِهِ = dengan lisannya/
perkataannya
- فَبِقَلْبِهِ = dengan hatinya
C.
Terjemahan Hadist
Dari Thariq bin
Syihab ra. Berkata : orang – orang yang pertama – tama memulai khutbah sebelum melakukan sholat ‘ied adalah Marwan (
wali kota Madinah sebelum Muawiyah) seseorang bangkit dan seraya menegurnya:”sholat
itu dilakukan sebelum Khutbah!” apa yang ada disana, sungguh telah
ditinggalkan, sahut Marwan. Sela Abu Sa’id Al Khudri r.a yang juga ikut sholat berkata
: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan
tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu
maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat
Muslim)
D.
Kandungan hadist
Nabi
Muhammad saw menyuruh kita untuk mengubah kemungkaran yang kita saksikan,
kemungkaran tersebut harus diubah agar berganti menjadi kebaikan sesuai dengan
kadar kemampuan kita .
Mencegah
kemungkaran adalah bagian dari cabang iman sedang iman bisa bertambah dan
berkurang sesuai dengan kondisi seseorang dalam melaksanakan perintah syariat.
Semakin banyak melakukan kebijakan maka iman pun semakin kuat, sebaliknya
semakin banyak melakukan maksiat maka iman pun semakin rapuh. Oleh sebab
itu manusia di haruskan selalu menyuru kepada kebaikan dan mencegah yang
mungkar agar dapat mempertebal keimanannya.
Rasulullah
bersabda “ siapa yang melihat ”, yang di maksud oleh nabi adalah siapa saja
yang mengetahuinya, mencakup orang yang
melihat dengan matanya langsung atau mendengar dengan telinganya, atau mendapat
kabar yang meyakinkan dari orang lain. Maksud menyaksikan disini bukan dengan
mata kepala saja,. Meskipun zhahir hadist menunjukkan hal itu hanya penglihatan
dengan mata kepala saja, namun selama lafazhnya mencakup makna yang lebih umum maka
bisa di maknai dengan umum.
Nabi Muhammad saw telah
memberikan perintah kepada segenap ummat untuk mengubah kemungkaran apabila ia
menyaksikannya, dan perlu di katakan: setiap orang memiliki tugas untuk
melakukannya, yang paling utama adalah jika kita mengubahnya dengan menggunakan
kekuaasaan yang kita miliki, kita harus menggunakan kekuasaan tersebut untuk
menegakkan kebenaran apabila kita tidak mau melakukan yang demikian maka
usahakanlah untuk mengubahnya dengan menggunakan nasihat-nasihat berupa ucapan
atau lisan. Tapi jika ternyata tidak mampu mengubahnya dengan nasehat maka kita
harus membentengi diri kita untuk tidak terlibat dalam kemungkaran tersebut.
Artinya, hati kita harus senantiasa berharap untuk dapat mengubah kemungkaran
itu menjadi kebajikan dan jangan sampai membenarkan kemungkaran tersebut. Meskipun
demikian, nabi mengisyaratkan bahwa berusaha mengubah kemungkaran hanya dengan hatinya menandakan tingkat iman
seseorang masih lemah sekali.[1]
Yang dikatakan ma’ruf ialah segala sesuatu yang dipandang baik oleh
manusia dan diridhoi oleh Allah. Baik perbuatan – perbuatan termasuk yang
diklasifikasikan kepada wajib, maupun sunnah untuk dikerjakannya. Mendirikan
dan memelihara sholat, melakukan puasa, menolong kecelakaan, berbuat
kemaslahatan kepada masyarakat, memberikan dana – dana sosial dan lain
sebagainya.
Adapun segala
sesuatu yang dipandang kurang baik oleh manusia serta tidak dibenarkan oleh
pencipta syariat disebut dengan mungkar. Seperti mengadakan pembunuhan serta
aniaya, makan harta milik orang lain dengan cara tidak sah, perzinahan,
perjudian, korupsi, menipu, khianat, dusta dan lain sebagainya.
Penilaian logika
manusia terhadap sesuatu tindakan atau keadaan itu baik atau buruk tidak dapat
dibantah, tetapi harus diterima secara mutlak oleh seluruh manusia disegala
masa dan suasana.
Sedemikian banyak
tindakan- tindakan atau keadaan – keadaan dianggap baik oleh sebagian manusia,
sedemikian pula dianggap tidak baik oleh orang lain ditempat atau suasana yang
sama atau berbeda. Misalnya usaha pemerintah mencari uang untuk memperbesar
pemasukan uang negara dengan jalan mengedarkan kupon berhadiah atau menarik
pajak perjudian yang dilokalisiradalah usaha yang dipandang baik oleh sebagian
apatur negara dan sebagian rakyat jelata. Tetapi hal itu dianggap tidak baik
oleh para pendidik, cendikiawan dan ulama, karena hal itu dapat merusak
pendidikan, membiasakan orang malas bekerja, melatih menggantungkan diri dengan
khayalan, melemahkan daya fikir, lantaran mengabaikan kerja – kerja yang
bermanfaat, membuang waktu untuk berusaha dan berproduksi yang justu usaha –
usaha yang suci menjadi salah satu sarana pembangunan kesejahteraan bersama.[2]
Menurut imam Al
–Ghazali penilaian baik buruknya tindakan – tindakan dan keadaan – keadaan itu
bukanlah semata- mata ditentukan oleh akal manusia semata- mata. Tetapi sedikit
maupun banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, baik yang datang dari luar
maupun dari dalam diri sipenilai itu sendiri misalnya dalam menilai suatu hasil
lukisan seseorang, jika sipenilai itu sudah berkenan hati dengan pelukisnya
atau sudah terpengaruh oleh penilaian orang lain yang menganggapnya baik, tidak
mujstahil ia akan menilainya baik juga. Sebaiknya jika orang yang menilainya
itu tidak memiliki bakat seni, apalagi ia sudah mendapat sugesti dari orang
yang menjelekkannya, niscaya penilaiannya akan jelek juga. Selanjutnya beliau
menyumpulkan bahwa penilaian baik atau buruknya suatu tindakan atau keadaan
yang hanya berpijak kepada daya akal saja adalah bersifat relative, karena
tidak dapat dijadikan ukuran yang positif yang dapat dterapkan kepada seluruh
bangsa dibeberapa benua. Agar ukuran baik dan buruk itu dapat dijadikan
standart umum yang berlaku bagi seluruh bangsa dimana saja berada disamping
ditetapkan oleh penilaian akal yang sejahtera hendaklah dibenarkan pula oleh
nash – nash syari’at dari Allah semesta alam.[3]
a.
Mendahulukan
khutbah sebelum sholat’ied adalah salah satu perbuatan mungkar
Menurut
sebagian pendapat orang melakukan khutbah sebelum dilakukan sholat ‘ied adalah
khilafah Ustman bin Affan ra. Dikala melihat orang – orang pada bubaran setelah
selesai melakukan sholat ‘ied tanpa menunggu selesainya khutbah. Akan tetapi
menurut pendapat jumhur muhadditsin yang mengambil dasar dari hadist Thariq bin
syihab tersebut diatas serta hadist- hadist lain yang lebih kuat , bahwa nabi
Muhammad SAW,Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan ra. Pada
mengakhirkan khutbah dari pada sholat ‘ied , hadist shahih yang dikemukakan
jumhur untuk memperkuat pendapatnya antara lain adalah hadist Ibn Abbas ra.
Yang artinya :” saya mengikuti sholat ‘iedul fitri bersama
Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar dan Ustman ra. Beliau – beliau melakukan sholat
‘ied sebelum khotbah. Kemudian Rasulullah SAW berkhutbah setelah selesai
sholat.”
Dengan demikian bahwa pendapat yang
mengatakan orang yang mula- mula melakukan khutbah sebelum sholat ‘ied itu
ialah khalifah Abu Bakar, Umar dan Ustman tidak benar. Tetapi yang benar adalah
Marwan,( wali kota Madinah sebelum Muawiyah).[4]
b.
Hukum Amar
Ma’ruf Nahi Mungkar
Seluruh ulama sepakat menetapkan hukum amar ma’ruf nahi mungkar itu
adalah wajib,berdasarkan Al- Qur’an, As- Sunnah, Al – Ijma’ dan Akhlaq
Mahmudah.
- Golongan mu’tazilah menganggap bahwa hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
itu wajib kifayah.
- Sebagian ulama’ menegaskan hukumnya wajib‘aini
- Ulama’ jumhur menetapkan wajib kifayah
Tetapi jika ditinjau dari segi
apakah kewajiban itu sebagian beban perseorangan atau beban kelompok , terdapat
perbedaan pendapat diantara ulama, namun perbedaan tersebut dapat diusahakan
pendekatannya.
Sebagaimana diketahui, bahwa ulama
yang menetapkan wajib ‘aini akhirnya juga memberikan kelonggaran kepada orang
yang apabila menjalankan tugas Amar Ma’ruf akan membahayakan diri sendiri.
Misalnya seseorang mengetahui seorang
pencuri sedang menjalankan tindakan durjananya, ia harus menangkap dan meminta
bantuan kepada orang lain. Tetapi kalau tindakan itu dijalankan ia akan menjadi
terbunuh oleh senjata pencuri yang selalu diarahkan didepan mulutnya. Situasi
yang dermikian ini menyebabkan kewajiban memberantas kemungkaran gugur disaat
itu. Sedangkan ulama yang menetapkan wajibnya sebagai wajib kifayah menyatakan
ketentuan penyimpangan dari wajib kifayah mendaji wajib ‘aini, misalnya bila
pada suatu tempat terjadi suatukemungkaran yang hanya diketahui dan dapat
diberantas oleh seorang tertentu saja, maka orang yang mempunyai dan mengetahui
kesanggupan ini harus bertindak, lantaran status Amar Ma’ruf nahi mungkar dalam
suasana semacam ini baginya meningkat menjadi wajib ‘aini.[5]
c.
Pertanggung
Jawaban Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Menurut QS Al – Maidah : 105 yang
artinya “ Hai orang – orang yang beriman, jagalah dirimu tiadalah orang yang
sesat itu akan member mudharat kpadamu apabila kamu mendapat petunjuk”
Benar kiranya dilihat dari segi
yuridis, seorang penganjur yang telah menyampaikan Amar Ma’ruf nahi mungkar
sudah bebas dari bahan kewajiban, biarpun anjuran tersebut tidak diindahkan
oleh orang yang diberi anjuran.
d.
Syarat- syarat
ber amar ma’ruf nahi mungkar
Untuk beramar ma’ruf nahi mungkar diperlukan dua syarat ,yaitu:
1.
Berkeyakinan atau mempunyai dugaan
keras bahwa tugas beramar ma’ruf nahi mungkar yang tengah dijalankan akan
member manfaat yang besar sekali kepada mereka yang diajak mengerjakan kebaikan
dan meninggalkan larangan.
2.
Tidak akan membawa kemudharatan
kepada diri si amar ma’ruf nahi mungkar, biarpun kemudharatan itu bukan
kemudharatan jasmani.
e.
Adab mencapai
kesuksesan dalam beramar ma’ruf nahi mungkar
Agar siamar ma’ruf nahi mungkar memperoleh hasil yang sukses dan
diridhoi sebagaimana yang diharapkan oleh syari’at, maka hendaklah ia
memperhatikan hal – hal sebagai
berikut :
1.
Harus memahami benar- benar tentang
kebaikan – kebaikan yang diberantasnya.
2.
Segala tindakannya hanya
berorientasi kepada Allah semata demi mempertahankan keluhuran agama dan
menegakkan kalimat Allah
3.
Tahan uji, berkemauan keras serta
tidak mudah putus asa sebelum berhasil apa yang ia cita- citakan.
4.
bijaksana[6]
DAFTAR PUSTAKA
Alfiah, Hadis Tarbawiy: Pendidikan Islam Tinjauan Hadis Nabi (Pekanbaru: Al-Mujtahadah
Press, 2010)
Bukhari Umar, Hadis Tarbawi : Pendidikan dalam Perspektif Hadis
(Jakarta: Amzah, 2014)
[1]
Imam Nawawi, Terjamah
Riyadus Shalihin, (Jakarta: Penerbit Pustaka Amani, 1999), jilid 1, hal. 212
[2]
Afiyah,Hadist Tarbawi ( Pekanbaru : Al – Mujtahadah Press,2010) hlm 183-
184
[3]
Lihat al- imam Ghazali, al- Musytasyfa, Dar al – Fikr, Beirut, jus 1, hlm 36
[4]
Alfiyah,Op.cit hlm 186
[5]
Ibid,hlm 187-188
[6]
Ibid,hlm 192-193

Tidak ada komentar:
Posting Komentar