Kamis, 21 Januari 2016

AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR

Perintah Amar Ma’ruf Nahi Munkar
A.    Hadist tentang  Amar Ma’ruf Nahi Munkar

عن  طارق بن شهاب وهذا حديث أبي بكر قال أول من بدأ بالخطبة يوم العيد قبل الصلاة مروان فقام إليه رجل فقال الصلاة قبل الخطبة فقال قد ترك ما هنا لك فقال أبو سعيد أما هذا فقد قضى ما عليه سمعت رسول الله  صلى الله عليه وسلم  يقول مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ .رواه مسلم
B.     Makna mufrodat

-      رَأَى                 = Melihat
-      فَلْيُغَيِّرْه            = Merubahnya
-      بِيَدِهِ                  = dengan tangannya
-      فَبِلِسَانِهِ            = dengan lisannya/ perkataannya
-      فَبِقَلْبِهِ              = dengan hatinya

C.     Terjemahan Hadist

Dari Thariq bin Syihab ra. Berkata : orang – orang yang pertama – tama memulai khutbah  sebelum melakukan sholat ‘ied adalah Marwan ( wali kota Madinah sebelum Muawiyah) seseorang bangkit dan seraya menegurnya:”sholat itu dilakukan sebelum Khutbah!” apa yang ada disana, sungguh telah ditinggalkan, sahut Marwan. Sela Abu Sa’id Al Khudri r.a yang juga ikut sholat berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Siapa  yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)

D.    Kandungan hadist
Nabi Muhammad saw menyuruh kita untuk mengubah kemungkaran yang kita saksikan, kemungkaran tersebut harus diubah agar berganti menjadi kebaikan sesuai dengan kadar kemampuan kita .
Mencegah kemungkaran adalah bagian dari cabang iman sedang iman bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan kondisi seseorang dalam melaksanakan perintah syariat. Semakin banyak melakukan kebijakan maka iman pun semakin kuat, sebaliknya semakin banyak melakukan maksiat maka iman pun semakin rapuh. Oleh  sebab itu manusia di haruskan selalu menyuru kepada kebaikan dan mencegah yang mungkar agar dapat mempertebal keimanannya.
Rasulullah bersabda “ siapa yang melihat ”, yang di maksud oleh nabi adalah siapa saja yang mengetahuinya,  mencakup orang yang melihat dengan matanya langsung atau mendengar dengan telinganya, atau mendapat kabar yang meyakinkan dari orang lain. Maksud menyaksikan disini bukan dengan mata kepala saja,. Meskipun zhahir hadist menunjukkan hal itu hanya penglihatan dengan mata kepala saja, namun selama lafazhnya mencakup makna yang lebih umum maka bisa di maknai dengan umum.
                        Nabi Muhammad saw telah memberikan perintah kepada segenap ummat untuk mengubah kemungkaran apabila ia menyaksikannya, dan perlu di katakan: setiap orang memiliki tugas untuk melakukannya, yang paling utama adalah jika kita mengubahnya dengan menggunakan kekuaasaan yang kita miliki, kita harus menggunakan kekuasaan tersebut untuk menegakkan kebenaran apabila kita tidak mau melakukan yang demikian maka usahakanlah untuk mengubahnya dengan menggunakan nasihat-nasihat berupa ucapan atau lisan. Tapi jika ternyata tidak mampu mengubahnya dengan nasehat maka kita harus membentengi diri kita untuk tidak terlibat dalam kemungkaran tersebut. Artinya, hati kita harus senantiasa berharap untuk dapat mengubah kemungkaran itu menjadi kebajikan dan jangan sampai  membenarkan kemungkaran tersebut. Meskipun demikian, nabi  mengisyaratkan bahwa berusaha mengubah kemungkaran  hanya dengan hatinya menandakan tingkat iman seseorang masih lemah sekali.[1]
Yang dikatakan ma’ruf  ialah segala sesuatu yang dipandang baik oleh manusia dan diridhoi oleh Allah. Baik perbuatan – perbuatan termasuk yang diklasifikasikan kepada wajib, maupun sunnah untuk dikerjakannya. Mendirikan dan memelihara sholat, melakukan puasa, menolong kecelakaan, berbuat kemaslahatan kepada masyarakat, memberikan dana – dana sosial dan lain sebagainya.
            Adapun segala sesuatu yang dipandang kurang baik oleh manusia serta tidak dibenarkan oleh pencipta syariat disebut dengan mungkar. Seperti mengadakan pembunuhan serta aniaya, makan harta milik orang lain dengan cara tidak sah, perzinahan, perjudian, korupsi, menipu, khianat, dusta dan lain sebagainya.
            Penilaian logika manusia terhadap sesuatu tindakan atau keadaan itu baik atau buruk tidak dapat dibantah, tetapi harus diterima secara mutlak oleh seluruh manusia disegala masa dan suasana.
            Sedemikian banyak tindakan- tindakan atau keadaan – keadaan dianggap baik oleh sebagian manusia, sedemikian pula dianggap tidak baik oleh orang lain ditempat atau suasana yang sama atau berbeda. Misalnya usaha pemerintah mencari uang untuk memperbesar pemasukan uang negara dengan jalan mengedarkan kupon berhadiah atau menarik pajak perjudian yang dilokalisiradalah usaha yang dipandang baik oleh sebagian apatur negara dan sebagian rakyat jelata. Tetapi hal itu dianggap tidak baik oleh para pendidik, cendikiawan dan ulama, karena hal itu dapat merusak pendidikan, membiasakan orang malas bekerja, melatih menggantungkan diri dengan khayalan, melemahkan daya fikir, lantaran mengabaikan kerja – kerja yang bermanfaat, membuang waktu untuk berusaha dan berproduksi yang justu usaha – usaha yang suci menjadi salah satu sarana pembangunan kesejahteraan bersama.[2]
            Menurut imam Al –Ghazali penilaian baik buruknya tindakan – tindakan dan keadaan – keadaan itu bukanlah semata- mata ditentukan oleh akal manusia semata- mata. Tetapi sedikit maupun banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri sipenilai itu sendiri misalnya dalam menilai suatu hasil lukisan seseorang, jika sipenilai itu sudah berkenan hati dengan pelukisnya atau sudah terpengaruh oleh penilaian orang lain yang menganggapnya baik, tidak mujstahil ia akan menilainya baik juga. Sebaiknya jika orang yang menilainya itu tidak memiliki bakat seni, apalagi ia sudah mendapat sugesti dari orang yang menjelekkannya, niscaya penilaiannya akan jelek juga. Selanjutnya beliau menyumpulkan bahwa penilaian baik atau buruknya suatu tindakan atau keadaan yang hanya berpijak kepada daya akal saja adalah bersifat relative, karena tidak dapat dijadikan ukuran yang positif yang dapat dterapkan kepada seluruh bangsa dibeberapa benua. Agar ukuran baik dan buruk itu dapat dijadikan standart umum yang berlaku bagi seluruh bangsa dimana saja berada disamping ditetapkan oleh penilaian akal yang sejahtera hendaklah dibenarkan pula oleh nash – nash syari’at dari Allah semesta alam.[3]
a.      Mendahulukan khutbah sebelum sholat’ied adalah salah satu perbuatan mungkar
Menurut sebagian pendapat orang melakukan khutbah sebelum dilakukan sholat ‘ied adalah khilafah Ustman bin Affan ra. Dikala melihat orang – orang pada bubaran setelah selesai melakukan sholat ‘ied tanpa menunggu selesainya khutbah. Akan tetapi menurut pendapat jumhur muhadditsin yang mengambil dasar dari hadist Thariq bin syihab tersebut diatas serta hadist- hadist lain yang lebih kuat , bahwa nabi Muhammad SAW,Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan ra. Pada mengakhirkan khutbah dari pada sholat ‘ied , hadist shahih yang dikemukakan jumhur untuk memperkuat pendapatnya antara lain adalah hadist Ibn Abbas ra.
Yang artinya :” saya mengikuti sholat ‘iedul fitri bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar dan Ustman ra. Beliau – beliau melakukan sholat ‘ied sebelum khotbah. Kemudian Rasulullah SAW berkhutbah setelah selesai sholat.
            Dengan demikian bahwa pendapat yang mengatakan orang yang mula- mula melakukan khutbah sebelum sholat ‘ied itu ialah khalifah Abu Bakar, Umar dan Ustman tidak benar. Tetapi yang benar adalah Marwan,( wali kota Madinah sebelum Muawiyah).[4]


b.      Hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Seluruh ulama sepakat menetapkan hukum amar ma’ruf nahi mungkar itu adalah wajib,berdasarkan Al- Qur’an, As- Sunnah, Al – Ijma’ dan Akhlaq Mahmudah.
-      Golongan mu’tazilah menganggap bahwa hukum Amar Ma’ruf Nahi Mungkar itu wajib kifayah.
-      Sebagian ulama’ menegaskan hukumnya wajib‘aini
-      Ulama’ jumhur menetapkan wajib kifayah
Tetapi jika ditinjau dari segi apakah kewajiban itu sebagian beban perseorangan atau beban kelompok , terdapat perbedaan pendapat diantara ulama, namun perbedaan tersebut dapat diusahakan pendekatannya.
Sebagaimana diketahui, bahwa ulama yang menetapkan wajib ‘aini akhirnya juga memberikan kelonggaran kepada orang yang apabila menjalankan tugas Amar Ma’ruf akan membahayakan diri sendiri. Misalnya  seseorang mengetahui seorang pencuri sedang menjalankan tindakan durjananya, ia harus menangkap dan meminta bantuan kepada orang lain. Tetapi kalau tindakan itu dijalankan ia akan menjadi terbunuh oleh senjata pencuri yang selalu diarahkan didepan mulutnya. Situasi yang dermikian ini menyebabkan kewajiban memberantas kemungkaran gugur disaat itu. Sedangkan ulama yang menetapkan wajibnya sebagai wajib kifayah menyatakan ketentuan penyimpangan dari wajib kifayah mendaji wajib ‘aini, misalnya bila pada suatu tempat terjadi suatukemungkaran yang hanya diketahui dan dapat diberantas oleh seorang tertentu saja, maka orang yang mempunyai dan mengetahui kesanggupan ini harus bertindak, lantaran status Amar Ma’ruf nahi mungkar dalam suasana semacam ini baginya meningkat menjadi wajib ‘aini.[5]


c.       Pertanggung Jawaban Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Menurut QS Al – Maidah : 105 yang artinya “ Hai orang – orang yang beriman, jagalah dirimu tiadalah orang yang sesat itu akan member mudharat kpadamu apabila kamu mendapat petunjuk”
Benar kiranya dilihat dari segi yuridis, seorang penganjur yang telah menyampaikan Amar Ma’ruf nahi mungkar sudah bebas dari bahan kewajiban, biarpun anjuran tersebut tidak diindahkan oleh orang yang diberi anjuran.
d.      Syarat- syarat ber amar ma’ruf nahi mungkar
Untuk beramar ma’ruf nahi mungkar diperlukan dua syarat ,yaitu:
1.      Berkeyakinan atau mempunyai dugaan keras bahwa tugas beramar ma’ruf nahi mungkar yang tengah dijalankan akan member manfaat yang besar sekali kepada mereka yang diajak mengerjakan kebaikan dan meninggalkan larangan.
2.    Tidak akan membawa kemudharatan kepada diri si amar ma’ruf nahi mungkar, biarpun kemudharatan itu bukan kemudharatan jasmani.
e.       Adab mencapai kesuksesan dalam beramar ma’ruf nahi mungkar
Agar siamar ma’ruf nahi mungkar memperoleh hasil yang sukses dan diridhoi sebagaimana yang diharapkan oleh syari’at, maka hendaklah ia memperhatikan  hal – hal sebagai berikut :
1.      Harus memahami benar- benar tentang kebaikan – kebaikan yang diberantasnya.
2.      Segala tindakannya hanya berorientasi kepada Allah semata demi mempertahankan keluhuran agama dan menegakkan kalimat Allah
3.      Tahan uji, berkemauan keras serta tidak mudah putus asa sebelum berhasil apa yang ia cita- citakan.
4.      bijaksana[6]

DAFTAR PUSTAKA

Alfiah, Hadis Tarbawiy: Pendidikan Islam Tinjauan  Hadis Nabi (Pekanbaru: Al-Mujtahadah Press, 2010)
Bukhari Umar, Hadis Tarbawi : Pendidikan dalam Perspektif Hadis (Jakarta: Amzah, 2014)





[1] Imam Nawawi, Terjamah Riyadus Shalihin, (Jakarta: Penerbit Pustaka Amani, 1999), jilid 1, hal. 212
[2] Afiyah,Hadist Tarbawi ( Pekanbaru : Al – Mujtahadah Press,2010) hlm 183- 184
[3] Lihat al- imam Ghazali, al- Musytasyfa, Dar al – Fikr, Beirut, jus 1, hlm 36
[4] Alfiyah,Op.cit hlm 186
[5] Ibid,hlm 187-188
[6] Ibid,hlm 192-193  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar